Tuesday, May 30, 2006

Senjata Para Ilmuan


Seandainya boleh dibuat analogi, pengembang dakwah adalah ibarat perajurit. Perajurit berperang di medan perang, sedangkan pengembang dakwah 'berperang' di medan dakwah, yakni di medan perang pemikiran di tengah-tengah masyarakat.

Dalam perang tradisional di masa lalu, misalnya, perajurit yang baik biasanya akan selalu mengasah dan merawat senjatanya –samada pedang, parang, ataupun tombak; dia akan sentiasa meningkatkan kemampuan berperangnya. Apa jadinya jika seorang perajurit tidak pernah mengasah dan merawat senjatanya dan tidak pernah meningkatkan kemampuan berperangnya? Tentu ia akan sangat mudah kecundang bahkan mungkin akan mudah mati terbunuh di medan perang (walaupun ajal seorang perajurit memang tidak terkait dengan ahli/tidaknya dia berperang di medan perang).

Begitupun dengan pengembang dakwah. Bezanya, kerana 'medan perang' bagi pengembang dakwah adalah medan dakwah, yakni medan perang pemikiran, maka senjata pengembang dakwah tidak lain adalah pemikiran itu sendiri, yakni pemikiran Islam. Seorang pengembang dakwah yang baik-sebagaimana halnya seorang perajurit yang baik-akan selalu mengasah senjatanya (baca: pemikirannya) dan senantiasa berusaha meningkatkan 'kemampuan berperangnya' (dalam perang pemikiran). Penguasaan terhadap dalil-dalil agama dan tsaqâfah Islam -seperti bahasa Arab, usul fikih, fikih, ulumul quran, ulumul hadis, dll- sangatlah penting bagi pengembang dakwah dalam mengasah 'senjata pemikiran'-nya. Tanpa penguasaan yang memadai terhadap dalil-dalil agama dan tsaqâfah Islam, 'senjata pemikiran'-nya akan tumpul. Apa jadinya jika pengembang dakwah terjun ke medan dakwah dengan senjata pemikiran yang tumpul kerana tidak pernah diasah dan dia pun tidak pernah meningkatkan 'kemampuan berperangnya'? Tentu ia pun akan sangat mudah kecundang -bahkan mungkin sangat mudah 'mati'- di medan perang pemikiran itu.

Mungkin, analoginya tidak terlalu tepat. Namun, terlepas dari itu, seorang pengembang dakwah memang bertugas untuk 'menakluki' masyarakat, yakni menakluki pemikiran masyarakat. Pengembang dakwah bertugas untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran Islam di tengah-tengah masyarakat. Hanya kerana masyarakat telah memiliki pemikirannya sendiri, yang sering bertentangan dengan pemikiran Islam, maka 'benturan pemikiran' atau 'perang pemikiran' tidak dapat dielakkan. Di sinilah pentingnya pengembang dakwah memiliki kepiawaian dalam 'menaklukan' masyarakat. Caranya adalah dengan meruntuhkan pemikiran-pemikiran masyarakat yang batil, sekaligus membangun pemikiran-pemikiran Islam di tengah-tengah mereka.

Mungkinkah itu terjadi jika pengembang dakwah tidak pernah berusaha mengasah senjata pemikirannya dan meningkatkan 'kemampuan berperangnya' di medan perang pemikiran? Di sini pula pentingnya pengembang dakwah untuk selalu rajin menuntut ilmu (thalab al-'ilm) dan berterusan dalam mendalami agama (tafaqquh fî ad-dîn).

Sayangnya, meski sudah difahami keutamaannya, tidak sedikit pengembang dakwah yang belum optimal dalam menuntut ilmu (kecuali seminggu sekali dalam halaqah) dan mendalami agama (memperbanyak muthâla'ah). Sebabnya pelbagai: samada kerana sudah merasa cukup dengan halaqah mingguan; kerana terlalu sibuk (tidak jarang malah di luar dakwah); kerana merasa tidak ada cabaran (mungkin kerana jarangnya terlibat di medan dakwah); atau kerana malas; dll. Pertanyaannya, mungkinkah dengan begitu pengembang dakwah berhasil menang bertarung di medan perang pemikiran di tengah-tengah masyarakat? Mungkinkah dengan begitu ia sukses 'menakluki' masyarakat? Mungkinkah dengan begitu ia berhasil melahirkan banyak kader dakwah?

Tampaknya kita perlu belajar kepada para Sahabat dan para ulama dari generasi salaf as-sâlih, bagaimana mereka sentiasa terlibat dalam usaha mencari dan mendalami ilmu-ilmu agama; tidak lain kerana mereka sangat memandang penting ilmu, bahkan sebelum mereka menjadi para pendakwah dan mujahid yang hebat. Begitu cintanya pada ilmu, Abu Hurairah dan Abu Dzar ra., misalnya, pernah mengatakan, "Satu bab ilmu yang kami pelajari lebih kami sukai ketimbang salat sunnah seribu rakaat."

Sufyan bin Uyainah ra. juga pernah bertutur, "Setelah kenabian, tidaklah seseorang diberi sesuatu yang lebih utama dibandingkan dengan ilmu dan pemahaman terhadap agama." Bahkan Umar bin al-Khaththab ra. pernah berujar, "Sungguh, kematian seribu tukang ibadah, yang sentiasa menunaikan solat pada malam hari dan berpuasa pada siang hari, jauh lebih ringan dibandingkan dengan kematian seorang ulama yang memahami halal dan haram (hukum-hukum Islam)."

Dengan ketajaman 'pedang ilmu'-lah Ja'far bin Abi Thalib berhasil meyakinkan Najasyi penguasa Habsyah (Etiopia), seorang penganut Nasrani yang taat, sehingga dia sudi mengabulkan permintaan suaka (perlindungan) kaum Muslim ketika dikejar-kejar oleh kafir Quraisy. Dengan ketajaman 'pedang ilmu'-lah Mus’ab bin Umair berjaya mengislamkan para pemimpin kota Madinah hanya dalam waktu setahun. Dengan ketajaman 'pedang ilmu'-lah (Ibn Abbas mampu mengembalikan ratusan kaum Khawarij ke pangkuan Khilafah -yang sebelumnya melakukan bughât (pemberontakan) terhadap Khalifah Ali ra.) setelah hujjah-hujjah mereka berhasil dipatahkan. Dengan ketajaman 'pedang ilmu' pula Imam al-Ghazali dijuluki dengan 'Hujjah al-Islâm' oleh ulama sezamannya, mampu mengkritik falsafah sekaligus menelanjangi kelemahan para ahli falsafah, dan mengarang tidak kurang dari 100 judul buku dari berbagai disiplin ilmu.

Tentu, hanya dengan ketajaman 'pedang ilmu' pula pengembang dakwah saat ini akan berhasil menelanjangi kepalsuan dan kelemahan pemikiran-pemikiran kufur saat ini (seperti sosialisme, sekularisme, demokrasi, HAM, liberalisme, permissivisme, privatisasi, feminisme, dialog antara agama, pasar bebas, stigma terorisme, dll) sekaligus berjaya meyakinkan masyarakat mengenai betapa pentingnya kembali pada kehidupan Islam secara total dengan menerapkan syariat Islam di bawah institusi Khilafah Islamiyah.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home